Multicultural Day in Murdoch University


MULTICULTURAL DAY IN MURDOCH UNIVERSITY, PERTH (INDONESIAN CULTURAL STALL)

 

WAH, TAPI BELUM JUARA: Stan Indonesia dalam Multicultural Day di Murdoch University, Australia. Pengunjung dapat lebih dekat dengan semua hal berbau Indonesia. Termasuk mencoba angklung ini.(nadia for kaltim post)

Murdoch University, Perth, Australia, menghelat Multicultural Day pada 19 April lalu. Nadia Sabri Ramdhany, mahasiswi Faculty of Economics, Murdoch University ikut tenggelam dalam event yang diikuti mahasiswa dari berbagai negara itu. Berikut catatan gadis Balikpapan itu dalam bahasa tutur.

MURDOCH University adalah rumah bagi lebih 18.500 mahasiswa. Termasuk 3.000 mahasiswa internasional dari lebih 100 negara. Tidak heran acara seperti Multicultural Day yang rutin dihelat tiap tahun, menjadi ajang untuk lebih memupuk rasa kebersamaan.

Acara ini diselenggarakan untuk masyarakat luas, tak khusus untuk mereka yang menuntut ilmu di Murdoch. Ini adalah kesempatan besar bagi para mahasiswa menampilkan, mempromosikan, dan berbagi aspek yang berbeda dari budaya mereka.

Indonesia tampil all out dalam acara ini. Rekan-rekan saya dari Murdoch University Indonesia Association (MUISA) menuangkan semua ide dan karya mereka. Ini adalah kesempatan besar untuk mempromosikan budaya Indonesia sekaligus memenangkan stall competition (kompetisi stan) dengan hadiah uang tunai.

Sayang, Indonesia harus mengalah kali ini, dengan hanya memperoleh juara 3.  Tahun sebelumnya, Indonesia berhasil menjadi runner up. Juara pertama  stall competition tahun ini dimenangkan Bhutan dan berhak atas hadiah sebesar AUD 250 atau  Rp 2.425.000. Stan mereka menawarkan photo booth, yakni dengan membayar AUD 3 (Rp 29.000) pengunjung dapat berfoto dengan mengenakan pakaian adat dari negara mereka.

Runner up disabet Arab Saudi, yang mengusung konsep sama dengan Bhutan. Bedanya, pengunjung tidak memakai pakaian ala raja-raja minyak di Arab, tapi berfoto bersama “raja” minyak dadakan.

Sebenarnya, stan Indonesia terlihat jauh lebih menarik dan ramai. Dekorasinya mengambil ide dari berbagai macam daerah. Ini dapat dilihat dari berbagai macam makanan serta permainan interaktif bersama pengunjung. Tidak ketinggalan juga para mahasiswa yang tergabung dalam MUISA kompak berbatik.

Makanan dan minuman, Indonesia menawarkan berbagai macam pilihan. Ada sate, nasi kuning, nasi uduk, martabak dan es teler yang kalau dibandingkan dengan “lawan” lain hanya menawarkan satu atau dua jenis makanan. Dari sisi interaksi, di stan Indonesia, pengunjung dapat bermain angklung bersama, bermain tebak presiden dan berfoto bersama wayang golek.

Tidak ketinggalan dalam pertunjukan seni, Indonesia menyumbang tiga performance, yaitu tari Bali berjudul Puspanjali yang ditampilkan penari cilik berusia 8 tahun bernama Ratri. Permainan angklung dari anggota MUISA yang membawakan lagu “Tanah Airku”, serta akustik performance dari Airlangga Pribadi serta Ekky Alwi, siswa dari Balikpapan yang sedang menempuh University Foundation di Murdoch University.

Indonesia yang habis-habisan di acara ini jelas kecewa dengan penilaian para juri. Sebab, juri terkesan hanya menitikberatkan penilaian pada sisi interaksi dengan pengunjung stan, dan tidak menilai keseluruhan materi yang ditampilkan dari setiap negara yang berpartisipasi.

Raafi Nurkarim, mahasiswa undergraduate dari Murdoch University yang merupakan Ketua MUISA  mengatakan, “Kita tidak melihat acara ini dari segi kompetisi, nilai yang penting yang dapat kita ambil adalah kita dapat menampilkan ciri khas masing-masing. Bagaimana mahasiswa asing dapat menghargai keberagaman budaya Indonesia”.

Hal yang berbeda diutarakan Wakil Ketua MUISA Asep Iqbal. Mahasiswa yang sedang menempuh program doctoral di Murdoch University itu mengatakan, seharusnya para juri memberikan penilaian yang menyeluruh, dan Indonesia harus mendapatkan reward yang sepadan dengan jerih payah dan keseriusan yang dituangkan para mahasiswa dari MUISA.

Penilaian yang kurang transparan dan tidak melibatkan berbagai aspek ini cukup membuat panitia dan para pengunjung yang berasal dari Indonesia kecewa. “Sebenarnya apa kekurangan kita dan apa kelebihan mereka,” kata Firmansyah Pasca Pratama, mahasiswa Murdoch University asal Surabaya.

“Kita kurang memberikan experience ke pengunjung, Bhutan menang karena mereka memberikan kesempatan kepada para pengunjung untuk memakai pakaian tradisional mereka. Pepatah mengatakan no pain, no gain, jadikan hari ini sebagai pengalaman untuk ke depannya menjadi lebih baik. Maju terus Indonesia,” lanjutnya.

Sekadar diketahui, Kampus Murdoch University tidak hanya berada di Perth.  Mereka juga bekerjasama dengan KDU University College di Malaysia, Kaplan Higher Education di Singapura, dan Murdoch International Study di Dubai, Uni Emirat Arab.

DIKUTIP DARI: http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=133688

 

Satu tanggapan

  1. wah ketemu juga blognya . salam kenal
    :))
    nama saya putu aditya dharmawan
    saat ini saya sedang mengambil program sarjana di ITS surabaya
    dan berkeinginan untuk melanjutkan ke program magister, dan dari beberapa universitas yang ada Murdoch University adalah salah satu kandidat terbaik yang saya temui, karna disana saya melihat adanya program Master of Network Management and Security. mungkin jika tidak merepotkan saya ingin mengetahui lebih banyak tentang informasi kampus dan kehidupan di sana. terimakasih

    tuadit@me.com | adt3298@yahoo.co.id

Tinggalkan komentar